Pimpinan Pusat Aisyiyah (tanpa tanggal). "Tokoh Inspiratif: Siti Umniyah". Pimpinan Pusat Aisyiyah. Diakses tanggal 11 Agustus 2019.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
aklamasi.id
Azhar, Mesy Azmiza (23 Februari 2019). "Muhammadiyah di Tangan Ahmad Dahlan". Media Mahasiswa Aklamasi Universitas Islam Riau. Diakses tanggal 16 Mei 2021.
Kata penghulu (Sunda: pangulu, Jawa: pengulu, Madura: pangoloh, Melayu: penghulu) berasal dari kata hulu yang berarti orang yang mengepalai. Namun, lama-kelamaan penghulu berarti seseorang yang ahli dalam agama Islam (Pijper 1984, hlm. 67). Pada waktu itu, penghulu merupakan jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan (Darban 2004, hlm. 30–31). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu istana dipandang sebagai penghulu ageng dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasihat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, gugatan cerai, rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Albiladiyah 2006, hlm. 13–14). Tugas penghulu yang berkenaan dengan Kesultanan Yogyakarta meliputi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasihat sultan, serta mengurusi tempat ibadah atau makam (Ismail 1997, hlm. 65–82). Penghulu membawahi ketib, modin, barjama'ah, dan merbot. Pejabat dalam organisasi Masjid Agung Yogyakarta ini terdiri atas orang-orang yang ahli dalam agama Islam (Hamzah, dkk 2007, hlm. 5). Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Darban, Ahmad Adaby (Februari 2004). "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah". Jurnal Humaniora. 16 (1). ISSN2302-9269. Albiladiyah, Samrotul Ilmi (Juni 2006). "Sekilas tentang Pathok Nagara". Jurnal Jantra. 1 (1). ISSN1907-9605. Ismail, Ibnu Qoyim (1997). Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press. ISBN978-979-5614-52-4. Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Panitia Penerima Muktamar Muhammadiyah ke-48 Surakarta (5 Juli 2020). "Sejarah Muhammadiyah". Situs Resmi Panitia Penerima Muktamar Muhammadiyah ke-48 Surakarta. Diakses tanggal 16 Mei 2021.
Kata penghulu (Sunda: pangulu, Jawa: pengulu, Madura: pangoloh, Melayu: penghulu) berasal dari kata hulu yang berarti orang yang mengepalai. Namun, lama-kelamaan penghulu berarti seseorang yang ahli dalam agama Islam (Pijper 1984, hlm. 67). Pada waktu itu, penghulu merupakan jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan (Darban 2004, hlm. 30–31). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu istana dipandang sebagai penghulu ageng dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasihat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, gugatan cerai, rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Albiladiyah 2006, hlm. 13–14). Tugas penghulu yang berkenaan dengan Kesultanan Yogyakarta meliputi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasihat sultan, serta mengurusi tempat ibadah atau makam (Ismail 1997, hlm. 65–82). Penghulu membawahi ketib, modin, barjama'ah, dan merbot. Pejabat dalam organisasi Masjid Agung Yogyakarta ini terdiri atas orang-orang yang ahli dalam agama Islam (Hamzah, dkk 2007, hlm. 5). Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Darban, Ahmad Adaby (Februari 2004). "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah". Jurnal Humaniora. 16 (1). ISSN2302-9269. Albiladiyah, Samrotul Ilmi (Juni 2006). "Sekilas tentang Pathok Nagara". Jurnal Jantra. 1 (1). ISSN1907-9605. Ismail, Ibnu Qoyim (1997). Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press. ISBN978-979-5614-52-4. Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kata penghulu (Sunda: pangulu, Jawa: pengulu, Madura: pangoloh, Melayu: penghulu) berasal dari kata hulu yang berarti orang yang mengepalai. Namun, lama-kelamaan penghulu berarti seseorang yang ahli dalam agama Islam (Pijper 1984, hlm. 67). Pada waktu itu, penghulu merupakan jabatan tertinggi dalam bidang keagamaan (Darban 2004, hlm. 30–31). Apabila dibandingkan dengan penghulu yang ada di daerah-daerah, penghulu istana dipandang sebagai penghulu ageng dalam struktur kepenghuluan. Selain berfungsi sebagai penasihat dewan daerah, tugas dan wewenang penghulu meliputi berbagai macam urusan keagamaan secara umum, yaitu pernikahan, perolehan nafkah, gugatan cerai, rujuk, wasiat/warisan, hibah, dan sebagainya (Albiladiyah 2006, hlm. 13–14). Tugas penghulu yang berkenaan dengan Kesultanan Yogyakarta meliputi upacara keagamaan keraton, pernikahan keluarga sultan, penasihat sultan, serta mengurusi tempat ibadah atau makam (Ismail 1997, hlm. 65–82). Penghulu membawahi ketib, modin, barjama'ah, dan merbot. Pejabat dalam organisasi Masjid Agung Yogyakarta ini terdiri atas orang-orang yang ahli dalam agama Islam (Hamzah, dkk 2007, hlm. 5). Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Darban, Ahmad Adaby (Februari 2004). "Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah". Jurnal Humaniora. 16 (1). ISSN2302-9269. Albiladiyah, Samrotul Ilmi (Juni 2006). "Sekilas tentang Pathok Nagara". Jurnal Jantra. 1 (1). ISSN1907-9605. Ismail, Ibnu Qoyim (1997). Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press. ISBN978-979-5614-52-4. Hamzah, Slamet, dkk (2007). Masjid Bersejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.