Christine Dobbin (2016), hlm. 135a: "Almost immediately after the establishment of the Dutch factory at Padang some Chinese must have settled there as agents for Batavian Chinese, possibly moving south from Pariaman. In 1673 there are reports of a Chinese 'Nakoda Banten' living at Padang in his own house, and other Chinese were also settled there performing services for company officials as they did at Batavia."
Erniwati (2007), hlm. 190: "Kedua perkumpulan ini berperan besar dalam menjaga budaya dan adat istiadat leluhur meskipun untuk saat ini genrasi muda kehilangan maknanya. Namun keberadaan kedua perkumpulan ini juga seakan-akan membagi etnis Cina Padang atas dua kelompok." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "Before the Dutch and the English came to Sumatra for pepper, Chinese pepper traders had been visiting west Sumatra from their commercial base at Banten."
Christine Dobbin (2016), hlm. 134–135: "Very few of these Chinese traded with their own capital, and they had meagre capital resources; they were generally agents for Banten Chinese, who in turn operated a commenda trade using money and goods supplied by merchants in China and, later on, by Europeans in Banten."
Christine Dobbin (2016), hlm. 134: "In the 1630s their vessels were reported to be swarming to the coast in search of pepper, and it seems likely that there were Chinese settled at Pariaman to act as agents for their compatriots; certainly they were reported to be established there in 1663."
Steven Adriaan Buddingh (1861), hlm. 161. Steven Adriaan Buddingh (1861). Neerlands Oost-Indië Reizen (1852–1857). Rotterdam: M. Wijt & Zonen.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Christine Dobbin (2016), hlm. 135b: "In that year several Chinese bought land from the panglima raja to establish a brickworks, and by 1682 there were so meny Chinese at the entrepôt that a Lieuteyangt Chinese had to be appointed to regulate matters concerning them."
Christine Dobbin (2016), hlm. 136a: "In 1785 the farm for collecting import and export duties at Padang was sold to the Captain Chinese, Lau Ch'uan-ko."
Christine Dobbin (2016), hlm. 136b: "With the decline of the gold trade, it was agreed by the Batavia government in 1790 to accept specie for a certain percentage of the company's cloth sales at Padang, so that the cloth trade would not be totally paralysed by the absence of gold. This too benefited the Padang Chinese, who were the only group at the port with access to specie, and enabled them now to act as brokers in the company's cloth trade, bypassing the Minangkabau brokerage system which relied on exchanging gold for cloth."
Erniwati (2007), hlm. 46a: "Gubernur Michiels mendorong orang asing untuk lebih banyak datang ke Padang dengan tujuan meningkatkan persaingan, sehingga Padang menjadi pelabuhan yang ramai dan dinamis. Berbagai kemudahan dan fasilitas diberikan kepada para pendatang, terutama kepada pedagang Cina yang dianggap mampu memajukan perekonomian." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Christine Dobbin (2016), hlm. 158: "They imported Chinese goods such as cloth and porcelain for domestic use from Batavia, Penang and later Singapore,..."
Erniwati (2007), hlm. 67: "Orang Cina yang waktu itu memiliki mata uang akhirnya menduduki posisi penting, bahkan mereka berhasil menjadi pialang dan mampu menggeser kelompok pialang tradisional Minangkabau hingga memasuki daerah pedalaman. Akibatnya orang Minangkabau sangat tergantung terhadap barang-barang pokok yang diperoleh melalui pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional, sedangkan pedagang pengecer juga tergantung kepada pedagang monopoli Belanda dan Cina." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Christine Dobbin (2016), hlm. 159: "The four leading Chinese brokers in Padang in 1829, just as the American coffee boom was passing, were Li Heng, Li Ma-ch'iao, Li Sing and Hu A-chiao."
Erniwati (2007), hlm. 46b: "'Untuk pertama kalinya pada 1847 Lie Saay berhasil membuat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda untuk mengangkut kopi dari Padang
Panjang ke Kayutanam dan mengangkut garam dan barang-barang lainnya dalam perjalanan baliknya.
." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 46c: "Perusahaan ekspedisi Lie Saay membawa hasil bumi mengunakan pedati (gerobak) kuda melewati lereng Lembah Anai di bawah pengawalan kakaknya Lie Maa Toon yang bisa bela diri kungfu. Perusahaan ekspedisi ini berkembang hingga dibangun jalan darat dan jalur kereta api." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Thomas Spencer Baynes (1887), hlm. 639, Volume 22: "Padang is a town of some 2,000 houses and 15,000 inhabitants, with a Chinese settlement and a European quarter. It is the chief market in Sumatra for gold." Thomas Spencer Baynes, ed. (1887). Encyclopædia Britannica. 22 (edisi ke-9). New York: Werner Co.Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Erniwati (2007), hlm. 55a: "Untuk membayar cicilan pinjaman pembangunan klenteng setelah mengalami kebakaran di 1861, kios-kios bambu tersebut disewakan kepada para pedagang. Lama kelamaan kios-kios bambu berkembang menjadi pasar yang dikenal dengan nama pasar Tanah Kongsi." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 93a: "Walaupun letak Pasar Tanah Kongsi berdampingan dengan Pasar Mudik yang sebelumnya sudah didirikan oleh pedagang Minangkabau, namun dalam waktu yang relatif singkat, Pasar Tanah Kongsi berkembang dengan cepat dan mampu menyaingi Pasar Mudik." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 68: "Lama-kelamaan lokasi perkampungan Tionghoa semakin berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah orang Tionghoa yang bermukim. Di Padang, perluasan permukiman Tionghoa ini sampai ke daerah Belakang Tangsi..." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 40: "Pada 1930 ditemukan 51% perantauan Cina berasal dari keturunan ke tiga yang terdiri dari 80% Hokkian, 15% Kwongfu, 2% Hakka, dan 3% dari suku lainnya. Dari perkiraan penduduk 1930 terlihat bahwa penduduk Cina Padang mayoritas berasal dari kelompok bahasa Hokkian yang tergolong ke dalam pedagang yang berasal dari Amoy." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 85a: "Sebagai akibat peristiwa yang terjadi pada masa revolusi, etnis Cina Padang kemudian dapat dibagi atas tiga kelompok orientasi, yaitu pro Republik, pro Belanda, dan kelompok netral." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 86b: "Keragaman orientasi kelompok etnis Cina ini menyebabkan masyarakat umumpun sulit mengenali mereka. Ketidakjelasan sikap etnis Cina tersebut menyebabkan masyarakat umum akhirnya menyamakan penilaian terhadap etnis Cina sebagai kelompok yang hanya mengambil keuntungan di negara Indonesia." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 86a: "Nyok Hok Seng selalu memberi informasi kepada Belanda tentang perkembangan situasi Padang dan menjadi penunjuk jalan kemungkinan di mana posisi pejuang kemerdekaan. Dengan sombong, setiap sore Nyo Hok Seng berkeliling kampung Pondok dan kota Padang dengan tentara Sekutu dan Belanda mengunakan mobil Jeep. Sikap Nyo Hok Seng menyebabkan etnis Cina lainnya sering mendapat masalah dan digeneralisasikan sebagai antek-antek Belanda dan diangap hanya mengambil keuntungan saja oleh masyarakarakat umum." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 84-85: "Sebagian kecil dari kelompok ini juga ada orang-orang yang berusaha memperkaya diri sendiri dengan mengadakan penyelundupan dan menerobos blokade Belanda." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 85b: "Kemampuan etnis Cina Padang dalam menyelundupkan senjata untuk kebutuhan pejuang kemerdekaan menjadikan mereka memiliki kedekatan dengan perwira militer yang sangat mempengaruhi hubungan mereka di masa selanjutnya." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 85-86: "Sikap yang tidak jelas disebabkan karena kurangnya posisi mereka dalam bidang ekonomi menyebabkan kelompok ini tidak berani menentukan sikap. Kelompok ini hanya akan menunggu siapapun sebagai pemenang perang. Namun karena mereka telah terbiasa dengan kehidupan pada masa kekuasaan kolonial Belanda, maka harapan mereka hanyalah kembalinya keamanan pribadi dan keadaan ekonomi yang relatif stabil." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 89: "Dengan adanya tiga pilihan status kewarganegaraan tersebut, beberapa keluarga memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Perbedaan pilihan status kewarganegaraan ini terjadi sebagai akibat perbedaan orientasi dan kepentingan. Konsekuensi dari pilihan yang berbeda menyebabkan banyak keluarga-keluarga dari etnis Cina di Indonesia termasuk yang tinggal di Padang terpisah-pisah." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 4-5: "Kelonggaran ini tidak saja diberikan oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat kota Padang. Bahkan di saat perayaan ulang tahun Kota Padang, pemerintah juga mengundang barongsai dan sipasan untuk beratraksi melalui dua perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman dan Himpunan Bersatu Teguh." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 4: "Pada masa pemerintahan Orde Baru, etnis Cina Padang tetap bisa melaksanakan budaya dan adat istiadat leluhur di bawah pengelolaan perhimpunan keluarga (marga) dan perhimpunan kematian Himpunan Tjinta Teman (HTT), serta Himpunan Bersatu Teguh (HBT)." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 7a: "Pengalaman buruk bagi sebagian etnis Cina di beberapa kota di Indonesia tidak dialami oleh etnis Cina Padang, termasuk saat peristiwa Mei 1998. Sepanjang era Reformasi bahkan tidak ditemukan tindak kekerasan dan kriminal yang menjadikan etnis Cina Padang sebagai sasaran kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Solo, Surabaya, Medan, maupun kota lainnya. Fenomena nasional yang menjadikan etnis Cina sebagai sasaran untuk mengungkapkan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap pemerintah, krisis ekonomi, dan kekacauan politik tidak dialami oleh etnis Cina Padang." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 3-4: "Perubahan terjadi setelah tahun 2000, ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 6/2000 untuk mencabut Inpres no.14/1967 dan membebaskan etnis Cina untuk merayakan hari besar dan adat istiadat serta tradisi mereka." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 63: "Rumah marga atau yang disebut kongsi oleh Cina Padang mengayomi etnis Cina berdasarkan suku yang sama, sehingga aktivitas utama rumah marga adalah membantu sesama anggota, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung. Selain itu, rumah marga juga berperan dalam melestarikan kebudayaan dan tradisi leluhur, termasuk menyelenggarakan upacara-upacara yang bersifat kekeluargaan, seperti pesta perkawiyang, menyelenggarakan sembahyang kepada leluhur dan dewa-dewa yang diyakini sebagai pelindung, serta prosesi pemakaman secara tradisional." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Erniwati (2007), hlm. 53: "Klenteng See Hien Kiong merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka sembah menunjukkan bahwa mayoritas etnis China Padang memiliki leluhur yang sama. Berbeda halnya dengan etnis China yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Jakarta dan Semarang ditemukan banyak klenteng yang masing-masing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula." Erniwati (2007). Asap Hio di Ranah Minang: Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat. Yogyakarta: Ombak. Diakses tanggal 25 September 2020.
Mardanas Safwan (1987), hlm. 15. Mardanas Safwan (1987). Sejarah Kota Padang(PDF). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 September 2020.
Mardanas Safwan (1987), hlm. 101. Mardanas Safwan (1987). Sejarah Kota Padang(PDF). Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 25 September 2020.